Oleh : M.Dahlan Abubakar
Tokoh Pers versi Dewan Pers
Di Indonesia saat ini, menjelang pemilihan presiden (pilres) dan pemilihan legislatif (pileg), masalah etika sedang “tidak baik-baik saja”. Rentetan pelabrakan masalah etika ini secara krusial diawali oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 yang penuh kontroversial karena “mempermak” aturan yang ada. Putusan tersebut akhirnya melenggangkangkungkan Gibran Rakabuming Raka setelah pamannya yang Ketua MK ikut menentukan nasibnya, meskipun harus diberhentikan dari Ketua MK karena diputuskan melanggar etik dan perilaku.
Pada debat calon wakil presiden kedua tanggal 21 Januari 2024, pemirsa TV di seluruh Indonesia dipertontonkan bagaimana seorang calon wakil presiden ber-”stand up comedy” secara sempurna dan melecehkan sopan santun di depan publik. Tentu saja para pendukung cawapres tersebut menilai tingkahnya ini sebagai keunggulan dari segi penampilan. Tetapi kita lupa bahwa kontestasi yang berlangsung adalah representasi jabatan orang kedua di negara ini, bukan sekadar ‘stand up comedy’ untuk menggaet dukungan kaum milenial. Wajarkah ketika sebuah kontestasi dilakonkan secara ‘ugal-ugalan’ yang sedianya harus menyampaikan kebijakan ketika akan berkuasa nanti, malah yang diketengahkan adalah sebuah dagelan? Ironis.
Pada tanggal 24 Januari 2024, Presiden Joko Widodo pada saat menyerahkan pesawat kepada TNI AU di Lanud Halim, didampingi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga calon presiden 02 secara mengagetkan mengatakan, Presiden boleh berkampanye, asal tidak menggunakan fasilitas negara.
Peristiwa 21 dan 24 Januari tersebut hingga hari ini menjadi ramai diperbincangkan di media (sosial) dengan segala pro-kontranya. Yang pro menyebutkan bahwa Presiden boleh berkampanye asal tidak menggunakan fasilitas negara. Alasannya merujuk pada UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 pasal 281. Pasal itu berbunyi “Kampanye pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, ….hingga dstnya wali kota dan wakil wali kota harus memenuhi ketentuan, (a) tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara…dstnya, (b) menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Mereka yang pro ini melihat dan membaca pasal UU Pemilu tersebut itu sepotong-sepotong. Juga berdalih dengan beranalogi, Barrack Obama yang sedang menjabat Presiden AS periode kedua, juga pernah mengampanyekan Hillary Clinton saat melawan Donald Trump. Mereka lupa konteksnya berbeda. Obama mengampanyekan Hillary yang satu partai dengan Obama, yakni Partai Demokrat. Lagipula, pilpres di Amerika adalah pertarungan “duo partai”, Demokrat dan Republik. Di Indonesia, Joko Widodo dari partai apa? Dan, dipastikan, Presiden akan berkampanye mendukung capres yang menggaet putranya sebagai cawapres. Apalagi viral di media muncul salam 2 jari di pintu kiri mobil kepresidenan yang sedang ditunggangi Presiden dan Ibu Iriani Jokowi, 22 Januari 2024 saat mengunjungi Salatiga. Simbol dua hari ini semakin memperjelas begitu sulitnya pasangan suami istri ini menahan diri tidak mendukung pasangan anaknya.
Teun Adrianus van Dijk, salah seorang sarjana di bidang linguistik teks, analisis wacana, dan analisis wacana kritis kelahiran Belanda 7 Mei 1943, menuding mereka yang seperti ini dalam analisis wacana kritis menggunakan variabel maksud. Variabel ini mengungkap bahwa mereka yang terlibat pergulatan teks tersebut akan selalu mengungkapkan atau memilih indikator yang selalu menguntungkan dirinya dan di lain pihak sama sekali menyembunyikan indikator yang merugikan dirinya. Itulah yang berlaku dan terjadi atas diri para penentang Joko Widodo seperti Fahry Hamzah yang kini bersekutu dengan rezim yang berkuasa.
Mereka yang kontra dengan “cawe-cawe” Presiden itu menilai, para pendukung Presiden Joko Widodo hanya melihat pasal 281 dengan mengabaikan pasal 282. Pada pasal 282 disebutkan, “Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye. Pasal 283 ayat (1) mereka yang disebutkan pasal 282 itu, “serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye”. Ayat (2), larangan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi, pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat”.
“Cawe-cawe” Presiden tersebut kontradiksi dengan harapannya kepada seluruh pejabat dan aparatur sipil negara agar menjaga netralitas dalam pemilu. Pertanyaan di benak si bahlul, mengapa para pejabat di level bawah diminta netral, sementara ‘bos’ boleh berkampanye? Ini sebuah anomali yang aneh dari seorang pemimpin bangsa. Bagaimana dia bisa dikenang sebagai guru bangsa jika pada dirinya berlumuran dengan luka-luka perilaku pribadi kepemimpinan dan konstitusional.
Richard L. Johannesen dalam “Ethics in Human Communications” (1990) menyebutkan, pada dekade 1980-an banyak bukti menunjukkan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap menurunnya petilaku etis, khususnya pada kalangan pajabat yang memiliki tanggung jawab publik maupun pribadi.
“What Ever Happened to Ethics” tulis liputan utama majalah ‘Time’ (25 Mei 1987),” tulis Johannesen.
Sebuah pengumpulan pendapat pada Februari 1987 oleh ‘US News’ dan CNN memperlihatkan, lebih setengah peserta survei yakin bahwa orang-orang sekarang lebih kurang jujur dibandingkan sepuluh tahun yang lalu (1977). “Time” melaporkan, lebih dari 100 anggota pemerintahan Ronald Reagan pernah mendapatkan tuduhan atas pelanggaran etika atau hukum yang diajukan terhadap mereka. Jumlah ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Menurut Johannesen, banyak bagian etis nasional yang telah sangat merosot dari Gedung Putih hingga gereja-gereja, sekolah-sekolah, industri, pusat-pusat kesehatan, lembaga hukum, dan pasar saham. “Time” menyimpulkan, etika sering disepelekan sebagai sebuah kata yang terlalu manis, kini berada di pusat perdebatan nasional baru.
Catatan Johannesen tersebut agaknya sadar atau tidak sudah menular ke Indonesia. Terutama di kekinian dalam kehidupan berdemokrasi di negara Pancasila ini. Filosof S.Jack Odell mengatakan, yakin prinsip-prinsip etika adalah prasyarat wajib bagi keberadaan sebuah komunitas sosial. Tanpa prinsip-prinsip etika mustahil manusia bisa hidup harmonis dan tanpa ketakutan, kecemasan, keputusasaan, kekecewaan, dan ketidakpastian.
Suatu sistem etika kemasyarakatan atau perilaku bukanlah obat yang mujarab dan berlaku bagi seluruh persoalan individu maupun kolektif. Tetapi filosof Carl Wellman, berkata, sebuah sistem etika tidak menyelesaikan seluruh persoalan praktis, tetapi kita tidak bisa memilih dan bertindak secara rasional tanpa sistem etika yang jelas atau samar-samar. Fungsi praktis dari sebuah sistem etika terutama adalah untuk mengarahkan perhatian kita pada pertimbangan yang relevan, alasan-alasan yang menentukan kebenaran dan kekeliruan suatu tindakan.
“Sebuah masyarakat tanpa etika adalah masyarakat yang menjelang kehancuran,” Jack Odell memberikan ‘ancaman’ yang cukup mengerikan kepada kita. (*).