MAKASSAR – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di situs resminya merilis hingga pukul 21.30 WIB telah terjadi 14 kali gempa dengan magnitudo di atas 5 di Sigi, Donggala, Palu, Sulawesi Tengah. Guncangan pertama gempa magnitudo 5,9 pada pukul 14.00, Jumat (28/9/2018).
Pusat gempa berada di kedalaman 10 kilometer. Selanjutnya kembali diguncang susulan gempa 28 menit berselang dengan kekuatan 5 skala richter. Tak lama berselang, gempa lagi-lagi mengguncang. Getaran semakin besar, membuat masyarakat panik dan berhamburan menyelamatkan diri ke tempat yang lebih aman.
Tepat pukul 17.02 WIB atau 18.02 WITA gempa dengan magnitudo terbesar terjadi di angka 7,7. Beriring dengan itu peringatan dini tsunami dikeluarkan BMKG bagi masyarakat yang berada di sekitar Palu dan Donggala.
Parameter gempa yang tercatat oleh seismograf BMKG kemudian dimutakhirkan di angka 7,4 dan dinyatakan benar telah terjadi tsunami di pantai Pesisir Teluk Palu dan Pesisir Kabupaten Donggala dan sekitarnya.
Dosen Tektonik dan Tsunami Departemen Geologi Universitas Hasanuddin, Kaharuddin MS menyebut bahwa gempa yang menyebabkan Tsunami ini sebenarnya sejak awal telah terprediksi. Ia menganalisa bahwa gempa yang terjadi di Lombok sebelumnya menjadi penanda awal lantaran terdapat persamaan jalur patahan yang dilalui wilayah lombok dan Palu.
Patahan yang dimaksud yakni patahan Palu-Koro menyambung dengan Patahan Australia bagian barat. Patahan ini melalui wilayah diantaranya Teluk Bone, Malili, Mangkutana, Palu, Selat Makassar dan Kalimantan Utara.
Yang menjadi persoalan terjadinya Tsunami di Palu akibat terdapat dua patahan besar yang saling memotong. Yakni Patahan Palu-Koro dan Patahan Selat Makassar.
“Patahan ini diumpakan seperti kendaraan harus jalan terus, kalau dia berhenti karena tertahan bisa jadi mengumpulkan energi besar. Patahan besar yang saling memotong ini antara Palu-Koro dan patahan Selat Makassar pun melepaskan energi besar, inilah yang menyebabkan gempa,” paparnya saat dihubungi, Sabtu (29/9).
“Energi besar ini menyebabkan air yang berada di laut dasar naik dan menarik air yang di permukaan menyebabkan Tsunami akhirnya dengan kecepatan yang sangat kencang bahkan bisa seperti kecepatan pesawat,” terangnya.
Kaharuddin melanjutkan bahwa hal ini sebenarnya bisa dicegah jika sedari awal semua pihak saling terbuka dan mendorong pengetahuan ke hal yang lebih teknis dan teliti.
“Sebetulnya di Indonesia jalur gempa dan Tsunami sudah kita tahu tapi sosialisasinya ke masyarakat kurang tepat, belum lagi banyaknya analisa yang menyesatkan,” terangnya.
Untuk wilayah Sulawesi, Kaharuddin menyebut bahwa terdapat beberapa patahan yang juga saling memotong. Tetapi yang terbesar selain patahan Palu-Koro dengan patahan Selat Makassar, juga terdapat patahan Kolaka yang saling memotong dengan patahan Palu-Koro.
“Ini potensi gempanya setiap lima tahun sekali tetapi kita bisa prediksi akan menjadi besar jika gempa hanya terjadi sekali dalam 10 tahun ke atas, harus diwaspadai. Patahan yang saling memotong ini terletak di jalur perairan Siwa, Palopo dan Toraja,” ungkapnya
Discussion about this post